Sabtu, 30 Juli 2016

Jogja dan Langit Jingga



Now Playing Because I Miss You – Jung Yong Hwa ~
         Sinar matahari sore ini begitu lembut membelai retina, meresap dengan sewajarnya hingga cahayanya terbiaskan lewat bintik kuning di mata. Tenang. Langit jingga yang seolah tak pernah memandang peduli tentang siapa saja yang memandanginya dengan penuh pertanyaan-pertanyaan yang jelas subjeknya tak akan mendengarnya. Mata-mata yang memandanginya dengan harapan yang begitu kuat, seperti keyakinan itu telah mengakar dalam di balik pandangannya.

Langit sore di sudut kota Jogja yang teduh. Cahayanya yang tidak begitu terang sangat membuat saraf-saraf mata terasa nyaman, sinar yang usai tak begitu mencolok. Walau tak tahu sebenarnya ada yang disembunyikan di balik kenyamanan itu.
Rindu. Rasa yang mengusik teduhnya sinar itu. Mata ini terus menerawang kejadian-kejadian yang pernah kita lalui. Bukan salahku juga bila selama ini mendewakan kenangan. Karena di sana selalu ada alasan untuk membuatku tetap tersenyum di balik kamuflase yang kulakukan di antara mereka di sini.
Rindu. Gejolak rasa yang seolah menuntut hadirnya kamu di sini. Walau aku perlahan sadar bahwa tuntutan itu tak bisa terpenuhi hingga tenggelamnya matahari senja ini. Bahkan aku akhirnya hanya bisa menyelipkan rasa rindu itu bersama dengan tenggelamnya matahari, bersama harapan yang tak kunjung tercapai, bersama cinta yang mulai tak kupercaya hadirnya di antara kita. Tapi, sayangnya, seiring dengan usahaku menenggelamkan semuanya bersama turunnya matahari itu hanya kenangan dan rasa ingin adanya hadirmu di sini. Aku tak tahu seberapa kuat sadarku mengenai ketidakmungkinan adanya balasan darimu, tapi kurasa hatiku juga tak begitu mampu untuk mencoba melupakan hal yang seharusnya tidak kurasakan.
Rasa ini. Tak pernah kubayangkan, kuharapkan kehadirannya di antara kita. Sejak awal aku menyadari betapa kemustahilan itu begitu nyata di antara kita. Aku sangat merindukan saat-saat aku menunggui datangmu, aku akan sangat bahagia saat ekor mataku berhasil menangkap bayanganmu.
Kamu tahu? Di saat orang lain bisa bebas memegang tanganmu dan bebas tertawa bersamamu, di saat itu pula aku sangat bahagia hanya karena aku bebas memandangmu tertawa lepas dengan mereka.
Langit jingga di sudut kecil kota ini selalu setia menjadi temanku, ia penghayat sejati. Membantuku menghayati apa yang sebenarnya terjadi pada kita. Menyadari bahwa ‘aku’ dan ‘kamu’ takkan bisa menjadi ‘kita’.
Bersama dengan teduhnya langit jingga ini, aku merindukanmu. Bukan sepenuhnya merindukanmu, hanya kenangan-kenangan kecil yang pernah kita habiskan bersama. Saat di suatu sore yang sama, di bawah kaki langit yang sama, kita duduk di tempat yang tidak asing lagi. Kamu mendongakkan kepalamu untuk sekadar mendengarkan cerita-ceritaku, bibirku yang terus mengucapkan deretan kata demi kata.
Rindu. Berat aku menyadari peliknya rasa itu, menusuk dengan hunusan yang sama tepat di jantungku. Hingga tiada hentinya aku berharap untuk mengulang saat itu. Bersama denganmu di bawah kaki langit yang sama, memandangi matahari yang mulai yakin tenggelam, lalu sedikit bercerita tentang apa yang kuhadapi hari ini. Bersama dengan teduhnya langit jingga di sudut kecil Jogja aku berharap dapat mengulangnya di waktu yang sama, walau itu hanya enam puluh detik saja. Karena aku mulai bosan dengan rasa yang seolah membuatku merasa bodoh setiap langit mulai berubah warna.
Aku bukannya menyerah untuk berusaha melupakan rasa yang seharusnya ada padaku ini. Aku telah mencoba untuk sebisa mungkin menghapusnya dengan caraku sendiri. Aku telah berusaha mencari celah lagi yang bisa membuatku yakin kemustahilan itu benar-benar nyata di depan mataku. Aku bukannya lelah untuk mencoba lari dari semua hal tentangmu yang ada pada diriku, tapi mengapa kamu kembali saat aku ingin berlari? Mengapa kamu kembali dengan guratan cerita yang sama? Tak bisa kugambarkan seberapa besar inginku melepaskan ikatanku sendiri, tapi aku juga tak tahu pasti mengapa semakin kamu tak menyapaku maka semakin kuat pula ikatan itu. bahkan otakku memeras tenaganya untuk menerka-nerka kira-kira apa yang sedang kamu lakukan sekarang dan apa yang kamu rasakan. Hanya dengan begitu aku merasa sedikit tenang.
Akhir-akhir ini aku menemukan cara baru untuk membuatku tak terlalu mengira apa yang sedang kamu rasakan dan hadapi. Dengan berpikiran bahwa, kamu hanya akan menghubungiku saat kamu merasa terluka dan butuh sandaran saja. Itu berarti kamu dalam keadaan yang sangat baik saat kamu tak memberiku sepotong sapaan atau kabar. Lama-lama aku merasa bosan juga dengan teoriku sendiri. Bahkan anggapanku itu membawamu ke dalam mimpiku. Saat aku membayangkan hari ini kamu menjalani harimu dengan bahagia karena semangat dari orang-orang yang kamu sayangi, mimpiku berkata bahwa kamu dalam keadaan yang buruk bahkan nyaris mati. Sebegitu berartikan bunga tidurku? Iya, sangat berarti buatku. Karena tak ada satupun mimpiku yang tidak melibatkan kamu. Teoriku sejak lama yang sempat kupendam beberapa saat lalu tumbuh lagi.
 
Bersama langit jingga di sudut kecil Jogja, diam-diam aku mendoakanmu. Haruskah aku mengatakan padamu bahwa aku mengharapkanmu? Tidak kan? Di saat orang lain sibuk mengatakan untuk mendoakanmu dan kamu memohonnya untuk mendoakanmu, kurasa, tanpa kamu ketahui dan tanpa kamu suruh pun… aku selalu menyebutmu di setiap doaku.
Begitu beratnya aku meninggalkan kebiasaan yang dulu. Saat masih di dimensi yang sama, mengerti keadaanmu dan kondisimu saat itu. tapi sekarang dimensi yang berbeda membuatku terpaksa meninggalkan kebiasaan itu dan seharusnya kamu harus tahu apa jawabannya… tidak berhasil juga.
Lalu, hal mana lagi yang harus kuandalkan agar aku bisa berhenti mengejar kemustahilan ini? sering sekali memohon untuk berhenti tapi mengapa saat bibirku berkata berhenti, hatiku berkata lain, mengapa hatiku tetap bertahan dengan rasaku padamu.
“Its hard to tell your mind to stop loving someone when your heart still does”
Ya. itu hal yang kualami sekarang. Bibirku berkata berhenti tapi hatiku berkata tidak. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Tak ada. Kurasa, memilih untuk tetap diam dan menunggu dan mengejar kemustahilan itu saja. seperti pengecut pada umumnya ~
Langit jingga di sudut kecil Jogja ini terlalu teduh buatku memikirkan segala tentangmu. Aku merasa nyaman dalam kekhawatiranku. Mungkin dialah salah satu bius yang meredakan rinduku padamu. Hanya salah satu dan bagian yang teramat kecil.
Tapi, hal yang kusadari bersama dengan langit jingga di sudut kecil Jogja ini adalah betapa sulitnya menjadi seorang pengagum yang sejak sekian lama masih mencari-cari jawaban sendiri atas kegelisahan yang dirasakan. Betapa bingungnya menanggung rindu yang seharusnya tidak diberikan untuk orang yang tidak pantas. Paling tidak dengan hal itu aku juga mengerti bagaimana cara untuk merasakan rindu. Ruangan di mana segala bisa bersatu. Rindu yang melilit kesepian.
Dan beginilah caraku menguras rindu; membasuh wajah dengan air mata, menyesali diriku dengan semuanya dan mengutuk keraguan dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar