Now Playing ♫ Because I Miss You – Jung Yong Hwa ~
Sinar matahari sore ini begitu
lembut membelai retina, meresap dengan sewajarnya hingga cahayanya terbiaskan
lewat bintik kuning di mata. Tenang. Langit jingga yang seolah tak pernah
memandang peduli tentang siapa saja yang memandanginya dengan penuh
pertanyaan-pertanyaan yang jelas subjeknya tak akan mendengarnya. Mata-mata
yang memandanginya dengan harapan yang begitu kuat, seperti keyakinan itu telah
mengakar dalam di balik pandangannya.
Langit sore di sudut kota Jogja
yang teduh. Cahayanya yang tidak begitu terang sangat membuat saraf-saraf mata
terasa nyaman, sinar yang usai tak begitu mencolok. Walau tak tahu sebenarnya
ada yang disembunyikan di balik kenyamanan itu.
Rindu. Rasa yang mengusik teduhnya
sinar itu. Mata ini terus menerawang kejadian-kejadian yang pernah kita lalui.
Bukan salahku juga bila selama ini mendewakan kenangan. Karena di sana selalu
ada alasan untuk membuatku tetap tersenyum di balik kamuflase yang kulakukan di
antara mereka di sini.
Rindu. Gejolak rasa yang seolah
menuntut hadirnya kamu di sini. Walau aku perlahan sadar bahwa tuntutan itu tak
bisa terpenuhi hingga tenggelamnya matahari senja ini. Bahkan aku akhirnya
hanya bisa menyelipkan rasa rindu itu bersama dengan tenggelamnya matahari,
bersama harapan yang tak kunjung tercapai, bersama cinta yang mulai tak
kupercaya hadirnya di antara kita. Tapi, sayangnya, seiring dengan usahaku
menenggelamkan semuanya bersama turunnya matahari itu hanya kenangan dan rasa
ingin adanya hadirmu di sini. Aku tak tahu seberapa kuat sadarku mengenai
ketidakmungkinan adanya balasan darimu, tapi kurasa hatiku juga tak begitu
mampu untuk mencoba melupakan hal yang seharusnya tidak kurasakan.
Rasa ini. Tak pernah kubayangkan,
kuharapkan kehadirannya di antara kita. Sejak awal aku menyadari betapa
kemustahilan itu begitu nyata di antara kita. Aku sangat merindukan saat-saat
aku menunggui datangmu, aku akan sangat bahagia saat ekor mataku berhasil
menangkap bayanganmu.
Kamu tahu? Di saat orang lain bisa
bebas memegang tanganmu dan bebas tertawa bersamamu, di saat itu pula aku
sangat bahagia hanya karena aku bebas memandangmu tertawa lepas dengan mereka.
Langit jingga di sudut kecil kota
ini selalu setia menjadi temanku, ia penghayat sejati. Membantuku menghayati
apa yang sebenarnya terjadi pada kita. Menyadari bahwa ‘aku’ dan ‘kamu’ takkan
bisa menjadi ‘kita’.
Bersama dengan teduhnya langit
jingga ini, aku merindukanmu. Bukan sepenuhnya merindukanmu, hanya
kenangan-kenangan kecil yang pernah kita habiskan bersama. Saat di suatu sore
yang sama, di bawah kaki langit yang sama, kita duduk di tempat yang tidak
asing lagi. Kamu mendongakkan kepalamu untuk sekadar mendengarkan
cerita-ceritaku, bibirku yang terus mengucapkan deretan kata demi kata.
Rindu. Berat aku menyadari
peliknya rasa itu, menusuk dengan hunusan yang sama tepat di jantungku. Hingga
tiada hentinya aku berharap untuk mengulang saat itu. Bersama denganmu di bawah
kaki langit yang sama, memandangi matahari yang mulai yakin tenggelam, lalu sedikit
bercerita tentang apa yang kuhadapi hari ini. Bersama dengan teduhnya langit
jingga di sudut kecil Jogja aku berharap dapat mengulangnya di waktu yang sama,
walau itu hanya enam puluh detik saja. Karena aku mulai bosan dengan rasa yang
seolah membuatku merasa bodoh setiap langit mulai berubah warna.
Aku bukannya menyerah untuk
berusaha melupakan rasa yang seharusnya ada padaku ini. Aku telah mencoba untuk
sebisa mungkin menghapusnya dengan caraku sendiri. Aku telah berusaha mencari
celah lagi yang bisa membuatku yakin kemustahilan itu benar-benar nyata di
depan mataku. Aku bukannya lelah untuk mencoba lari dari semua hal tentangmu
yang ada pada diriku, tapi mengapa kamu kembali saat aku ingin berlari? Mengapa
kamu kembali dengan guratan cerita yang sama? Tak bisa kugambarkan seberapa
besar inginku melepaskan ikatanku sendiri, tapi aku juga tak tahu pasti mengapa
semakin kamu tak menyapaku maka semakin kuat pula ikatan itu. bahkan otakku
memeras tenaganya untuk menerka-nerka kira-kira apa yang sedang kamu lakukan
sekarang dan apa yang kamu rasakan. Hanya dengan begitu aku merasa sedikit
tenang.
Akhir-akhir ini aku menemukan
cara baru untuk membuatku tak terlalu mengira apa yang sedang kamu rasakan dan
hadapi. Dengan berpikiran bahwa, kamu hanya akan menghubungiku saat kamu merasa
terluka dan butuh sandaran saja. Itu berarti kamu dalam keadaan yang sangat
baik saat kamu tak memberiku sepotong sapaan atau kabar. Lama-lama aku merasa
bosan juga dengan teoriku sendiri. Bahkan anggapanku itu membawamu ke dalam mimpiku.
Saat aku membayangkan hari ini kamu menjalani harimu dengan bahagia karena
semangat dari orang-orang yang kamu sayangi, mimpiku berkata bahwa kamu dalam
keadaan yang buruk bahkan nyaris mati. Sebegitu berartikan bunga tidurku? Iya,
sangat berarti buatku. Karena tak ada satupun mimpiku yang tidak melibatkan
kamu. Teoriku sejak lama yang sempat kupendam beberapa saat lalu tumbuh lagi.
Bersama langit jingga di sudut
kecil Jogja, diam-diam aku mendoakanmu. Haruskah aku mengatakan padamu bahwa
aku mengharapkanmu? Tidak kan? Di saat orang lain sibuk mengatakan untuk
mendoakanmu dan kamu memohonnya untuk mendoakanmu, kurasa, tanpa kamu ketahui
dan tanpa kamu suruh pun… aku selalu menyebutmu di setiap doaku.
Begitu beratnya aku meninggalkan
kebiasaan yang dulu. Saat masih di dimensi yang sama, mengerti keadaanmu dan
kondisimu saat itu. tapi sekarang dimensi yang berbeda membuatku terpaksa
meninggalkan kebiasaan itu dan seharusnya kamu harus tahu apa jawabannya… tidak
berhasil juga.
Lalu, hal mana lagi yang harus
kuandalkan agar aku bisa berhenti mengejar kemustahilan ini? sering sekali
memohon untuk berhenti tapi mengapa saat bibirku berkata berhenti, hatiku
berkata lain, mengapa hatiku tetap bertahan dengan rasaku padamu.
“Its hard to tell your mind to stop loving someone when your heart still
does”
Ya. itu hal yang kualami
sekarang. Bibirku berkata berhenti tapi hatiku berkata tidak. Tapi apa yang
bisa kuperbuat? Tak ada. Kurasa, memilih untuk tetap diam dan menunggu dan
mengejar kemustahilan itu saja. seperti pengecut pada umumnya ~
Langit jingga di sudut kecil
Jogja ini terlalu teduh buatku memikirkan segala tentangmu. Aku merasa nyaman
dalam kekhawatiranku. Mungkin dialah salah satu bius yang meredakan rinduku
padamu. Hanya salah satu dan bagian yang teramat kecil.
Tapi, hal yang kusadari bersama
dengan langit jingga di sudut kecil Jogja ini adalah betapa sulitnya menjadi
seorang pengagum yang sejak sekian lama masih mencari-cari jawaban sendiri atas
kegelisahan yang dirasakan. Betapa bingungnya menanggung rindu yang seharusnya
tidak diberikan untuk orang yang tidak pantas. Paling tidak dengan hal itu aku
juga mengerti bagaimana cara untuk merasakan rindu. Ruangan di mana segala bisa
bersatu. Rindu yang melilit kesepian.
Dan beginilah caraku menguras
rindu; membasuh wajah dengan air mata, menyesali diriku dengan semuanya dan
mengutuk keraguan dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar