Ziffa mempererat genggaman
tangannya di lenganku tanpa menghiraukan aku yang juga kaku karena tegang dan
dingin. Dia tak henti-hentinya terisak lirih ketakutan. Suaranya gemetar,
nafasnya tercekat setiap kali kaki kami menginjak ranting kering dan patah. Aku
sendiri tidak ingin bersuara, aku takut mendengar suaraku yang pasti parau
karena tenggorokan ini sudah sangat kering dan pahit. Aku tidak mau suaraku didengar
oleh makhluk-makhluk hutan ini dan mengundang mereka ke tempat kami. Aku dan
Ziffa hanya bergerak terus menerobos kabut dingin gunung Semeru.
Kami terpisah dari tim
peneliti botani dari universitas kami saat Ziffa minta izin untuk buang air
kecil. Aku tentu saja menemani dia karena aku adalah pacarnya. Kami berhenti di
sebuah ceruk batu yang terlindung pohon besar, Ziffa melakukan panggilan alamnya
sedangkan aku menunggu dia dari balik pohon. Tim bergerak pelan-pelan
melanjutkan perjalanan karena mereka tahu aku hafal rute balik ke perkemahan
kami. Waktu itu matahari sudah tampak rendah di ufuk barat, jarum jam
menunjukkan pukul 4.30, belum terlalu gelap. Akan tetapi cuaca di gunung memang
sulit ditebak. Baru saja cuaca cerah tiba-tiba kabut tipis mulai turun. Aku
berteriak memanggil Ziffa untuk segera menuntaskan hajatnya. Dia hanya
berteriak balik menyuruhku untuk menunggu sebentar dan melemparkan sebotol air
ke arahnya. Dia bilang perutnya tiba-tiba sakit. Aku mendesah kesal.
Sekitar lima menit berselang
aku mendengar gemericik air dituang dari botol, aku sudah ingin menggoda Ziffa
lalu tiba-tiba diam tertegun melihat gumpalan kabut yang berputar-putar dari
arah jalan setapak tempat dimana teman-teman kami baru saja berdiri. Kabut itu semakin lama semakin membesar dan
tampak bergerak mendekat kearah kami. Aku berteriak ke Ziffa untuk melihat
kejadian ini tapi rupanya Ziffa sudah berdiri di belakangku. Wajahnya kelihatan
kaku, bibirnya berkedut aneh lalu dia berkata, “Ayo kita pergi sayang. Lari..
lari…” Ziffa gemetar, aku bingung. Kalut melihat kabut misterius yang menebal
dan khawatir dengan keadaan Ziffa yang tiba-tiba aneh aku segera meraih
tangannya dan menariknya pergi dari tempat itu. “Iya, kita harus lari,” ucapku
sambil menggelandangnya. Aku terus menariknya sambil berlari tanpa mempedulikan
arah. Aku merasa kabut itu seperti wedhus gembel di gunung Merapi yang mampu
menghanguskan apapun yang di laluinya. Aku tidak ingin terpanggang di hutan ini
bersama kekasihku. Aku lupa apakah itu wedhus gembel atau bukan, yang ada dalam
pikiranku hanyalah berlari menjauh dari kabut gelap itu. Disaat kami berlari
itulah tiba-tiba tanah yang kami pijak bergerak, yang aku tahu hanyalah Ziffa
tergelincir ke lereng yang terjal. Tangannya yang aku pegang menarikku ikut
terjun. Kami jatuh terguling-guling. Lalu gelap.
Ziffa merasa hidup kami
berdua akan berakhir di hutan Tengger ini. Dia tak pernah menyangka perjalanan
explorasi botani di Taman Nasional gunung Bromo-Tengger-Semeru yang awalnya
penuh dengan canda tawa akan berakhir
seperti ini. Di tengah belantara hutan yang gelap dan dingin aku masih berusaha
untuk menjaga harapan hidupku. Pagi pasti tak akan lama lagi dan tim evakuasi
akan segera menemukan kami. Aku hanya ingin mencari tempat berlindung yang
lebih layak karena kekasihku tampaknya tak mampu berada di tengah alam bebas. Tas
ransel Ziffa mungkin tertinggal di ceruk batu itu sedangkan ranselku sendiri
hanya berisi buku catatan, kotak plastik, beberapa makanan ringan, pisau dan
senter yang pecah. Air minum telah habis sejak Ziffa memakainya untuk
membersihkan diri sedangkan peta dan kompas ada di ketua tim expedisi kami.
Yang tersisa untuk kami adalah kemustahilan untuk menemukan jalan pulang malam
ini juga.
Cahaya yang berasal dari
nyala api di kejauhan membesarkan hatiku. “Sayang, tenanglah. Kita selamat.
Lihat di sana ada api, pasti ada orang berkemah di sana.” “Benarkah? Syukurlah
ayo kita segera ke sana,” jawab Ziffa. Dia tampak lebih bersemangat setelah
melihat nyala api itu. Setelah berjalan cukup lama sampailah juga kami di
tempat api tersebut. Ada sebuah tenda berwarna coklat lusuh dan tampak tua
sekali. Cahaya api yang kami lihat rupanya adalah sebuah lampu minyak yang di
sekeliling apinya ada kaca kotor berwujud corong, menggantung di depan pintu
masuk tenda. Lentera kaca yang sangat kuno. Sejenak perasaan tidak mengenakkan
menerpa diriku. Tapi, Ziffa sudah memanggil-manggil orang yang mungkin berada
di balik kain tebal itu. “Permisi, permisi. Ada orang? Bisakah kami meminta
bantuan?” Terpaan angin basah menjawab panggilan Ziffa. Lalu suara kecipuk air
menumbuk batu terdengar lirih. Ada air di sekitar tempat ini batinku.
Tak ada siapapun di tenda itu
kecuali bayang-bayang api yang meliuk-liuk membias di dinding tenda. Akhirnya
kami memutuskan untuk masuk ke dalam tenda tua itu. ketika tanganku menyibak
pintu tenda, kain kasar yang rapuh menyentak jari-jariku. Tenda ini bisa saja
runtuh menjadi debu kapan saja karena usangnya. Pintu tenda terbuka, cahaya
lentera menembus sela-sela tubuh kami menerangi sedikit bagian tenda yang
memang tidak luas. Sebuah gaun putih pudar tergeletak di samping sebuah mantel
coklat. Aneh sekali di tempat seperti ini kami mendapati sebuah gaun kuno yang
biasa aku lihat di film-film klasik Eropa. Ya, gaun yang biasanya dipakai oleh
wanita-wanita Eropa di abad ke-18.
***
Aku menepuk-nepuk pipi Ziffa
yang masih belum sadarkan diri. Mengguncang-guncang tubuhnya perlahan agar dia
segera siuman. Hanya dia satu-satunya sumber kekuatanku saat itu. Ditengah
alam, dimalam buta dengan tubuh perih dan letih setelah terjatuh dari lereng menyadarkanku
bahwa kami berdua telah tersesat. Tak ada cahaya yang cukup terang di langit,
hanya suara nafas kekasihku yang memberi petunjuk arah di mana tubuhnya berada.
Aku kehilangan arah, aku tersesat gara-gara kabut yang mengejar kami. Akhirnya
Ziffa terbangun, dia langsung menangis, tangannya memukul-mukulku. Aku berusaha
menenangkannya dengan mengatakan bahwa aku bersamanya, dia mulai tenang. Ziffa
memeluk leherku dan bangkit duduk. Aku berusaha bersikap tenang agar dia tidak
semakin takut, aku bilang padanya bahwa kita akan melawati semua ini berdua dan
akan selamat. Setelah kakinya mampu berdiri lagi kami mulai bergerak mencari
tempat berlindung hingga akhirnya kami mendapati diri kami berada di depan
sebuah tenda tua.
Ziffa masuk ke dalam tenda itu duluan. Aku
kembali keluar untuk memeriksa sekeliling tenda. Aku tetap beranggapan bahwa
pemilik tenda ini sedang keluar entah kemana. Sekeliling tenda aman. Di samping
kiri agak jauh dari tenda aku melihat sedikit kilatan cahaya terpantul. Aku
ingat bahwa aku mendengar suara air. Pasti itu adalah sebuah danau karena jika
itu sungai aku tidak mendengar suara air mengalir. Aku kembali ke pintu depan
tenda. Kusibakkan sekali lagi kain rapuh yang kasar itu. Seketika mataku
terbelalak, aku melihat seorang perempuan muda memakai gaun putih kuno. Aku
hendak meminta maaf kepadanya lalu aku tersadar bahwa wanita itu adalah Ziffa,
kekasihku. Dia telah memakai gaun itu.
Dia tampak cantik di tengah
ruangan tenda yang sempit. Wajahnya anggun melembut karena cahaya lentera. Yang
tampak nyata bagiku adalah aku tak lagi melihat kegelisahan ataupun ketakutan
di matanya. Dia tampak begitu tenang. Aku duduk di sampingnya dan berkata, “Ada
semacam danau atau telaga di sebelah kiri kita, sayang. Mungkin pemilik tenda
ini ..” kalimatku terpotong oleh suaranya yang lembut tapi tegas. “Ranu
Kumbolo.” Aku memandanginya keheranan, “Ra.. Ranu Kumbolo? Apa maksudmu,
sayang? Siapa dia?” Ziffa memandangku lalu berkata, “Danau itu namanya Ranu
Kumbolo. Danau sakral di kaki gunung Semeru.” “Oh, kamu tahu tempat ini? Eh..
tapi kenapa kamu memakai baju ini? Bagaimana jika pemiliknya datang dan tidak
terima?” aku menghujaninya dengan pertanyaan. “Tenanglah sayang,” kata Ziffa.
“Aku tahu tempat ini dengan baik, aku yakin tenda ini telah ditinggalkan
pemiliknya jadi jangan khawatir kita bisa bermalam di sini.”
Ziffa menarik tubuhnya
mendekatiku, disandarkan kepalanya di dadaku tangannya memeluk erat tubuhku.
Aku merasa agak heran dengan apa yang dia lakukan setelah semua kejadian yang
kami alami. Tapi secara refleks aku membalas pelukannya. Kami saling memandang
dan dia bilang dia menyayangiku. Aku hendak mengatakan hal yang sama tapi urung
aku lakukan karena dia telah mendorongku jatuh terlentang. Sebagai lelaki aku
tentu saja sulit menahan diri ketika kekasihku bersikap seperti ini. Kepalaku dipenuhi
oleh nyanyian-nyanyian cinta yang memaksaku melepaskan seluruh kendali diriku.
Ketika dia telah duduk di perutku, aku tiba-tiba tersadar. Rambut Ziffa
berwarna hitam bukan coklat gelap seperti ini dan yang aku tahu dia juga tidak
akan melakukan hal seberani ini kepadaku. Sontak aku mendorongnya kebelakang
dan menarik tubuhku menjauh. Aku pandang dia dan berteriak, “Ziffa.. Ziffa..
kau siapa? Kamu bukan Ziffa. Kemana dia?” Aku semakin meracau karena pikiranku
telah dikuasai oleh kebingungan dan rasa takut yang amat sangat. Aku tidak
kenal siapa wanita cantik yang berada di depanku dan aku juga khawatir dengan
keadaan Ziffa. Aku bahkan tidak tahu dimana dia sekarang.
Gelombang ketakutan semakin
menelanku. Perempuan bergaun putih itu kini berdiri di depanku. Dia tersenyum
lebar sekali, lalu suara tawa yang mengerikan memenuhi setiap inderaku. Aku
menendang-nendang sampai keluar dari tenda. Berlari di kegelapan karena nyala
lentera yang tak sanggup lagi menerangi lebih jauh membuatku kehilangan arah.
Aku tersandung dan jatuh ke air. Nafasku pendek terputus-putus. Keringat dingin
mengucur dari dahiku walaupun kakiku terasa dingin membeku. Ranu Kumbolo, aku
berada di danau yang diucapkan wanita itu ketika di dalam tenda. Perlahan-lahan
wanita itu mendekat, lentera tadi sekarang berada di tangan kanannya. Dia
berjalan begitu halus, melayang tipis di atas tanah. Aku bisa melihat
sekelilingku penuh dengan air yang beriak. Aku membuka mulutku bertanya, “Apa
yang kamu inginkan? Kenapa kamu menggangguku?” Wanita itu tersenyum, “Aku
menyukaimu wahai pemuda, menikahlah denganku malam ini juga dan kamu akan
merasakan kenikmatan yang tiada berujung. Malam pengantin kita tak akan pernah
berakhir. Hihihi..” “Tidak, aku tidak mau. Aku ingin kembali ke kekasihku. Aku
ingin kembali ke teman-temanku.” “Lelaki bodoh, aku menawarkanmu kehidupan yang
abadi penuh dengan kenikmatan tapi kamu menolaknya. Kalau begitu kembalikan
sesuatu yang telah kau ambil dari hutan tadi. Atau kamu ingin berada di sini
selamanya.” Aku terperanjat dalam ketakutanku. Sesuatu yang telah aku ambil
dari hutan. Apa, aku bahkan tidak ingat telah mengambil sesuatu yang berharga
dari dalam hutan. “Aku tidak mengerti maksudmu. Apa yang telah aku ambil
darimu?” “Jangan berbohong wahai manusia, kembalikan Naga Kesara yang telah kau
ambil. Kalian selalu saja datang dan mengambil milik kami tanpa meminta izin
pada alam. Kalian merusak tempat kami tinggal.”
Naga Kesara. Aku tidak pernah
sekalipun mendengar nama benda itu. Nama sesuatu yang sepertinya berasal dari
bahasa Jawa atau mungkin Sansekerta. “Aku tidak mengerti, aku tidak mengambil
Naga yang kamu maksud. Aku hanya ingin meniliti tanaman di tempat ini.” Wanita
itu semakin dekat, lentera yang dia bawa tampak semakin besar nyala apinya. Dia
tertawa lagi dan berkata, “Apapun alasanmu aku tahu kamu membawanya, Naga
Kesara itu adalah milik kami. Untung aku menyukaimu wahai pemuda, jika tidak
aku sudah membakarmu habis dan menenggelamkan belulangmu di dasar Ranu Kumbolo
ini.” Aku tiba-tiba ingat bahwa aku telah mengambil beberapa bunga dan daun Messua
ferrea. Tentu saja aku mengambilnya karena salah satu tujuan kami datang ke
sini adalah untuk membandingkan tanaman berkhasiat yang lebih dikenal dengan
sebutan pohon Dewandaru yang tumbuh di hutan ini dengan yang telah ditanam di
daerah dataran rendah. Menyadari akan hal itu aku segera berkata, “Maafkanlah
aku, aku memang memetik bunga dan daun Dewandaru aku menyimpannya di kotak di
dalam tasku. Ambilah, aku mohon jangan ganggu aku.” Perempuan yang menyerupai
gadis belanda itu terbang mundur sambil tertawa, lentera itu dia lemparkan
kearahku. Aku berteriak sambil menutupi wajahku. Habis, tamatlah aku sampai
disini. Lentera itu jatuh di depanku tapi apinya tidak membakarku. Lentera itu
tenggelam, nyala itu lenyap. Lalu gelap.
Pipiku ditepuk-tepuk, tubuhku
diguncang-guncang. Saat kubuka mataku aku melihat Ziffa menangis. Teman-teman
expedisiku tampak cemas. Beberapa orang dari tim medis sedang merawatku. Aku
selamat. Aku memeluk Ziffa, berbisik di telinganya bahwa aku mencintainya. Dia
berkata bahwa dia juga mencintaiku walaupun kemarin dia sempat kebingungan
karena melihatku berlari meninggalkannya di hutan sendirian.
Sehari berlalu, aku telah
sepenuhnya pulih. Aku ditemani seorang juru kunci gunung semeru di klinik
tempat aku dirawat. Setelah menceritakan segala yang terjadi padaku malam itu,
orang sepuh itu tersenyum. Dia bilang, “Kamu sedang tidak beruntung sekaligus
beruntung, Nak.” Terus terang kalimatnya membuatku bingung. Setelah bertanya
apa maksud ucapannya, lelaki tua itu melanjutkan, “Kamu tidak beruntung karena
kamulah yang di datangi penunggu kaki gunung Semeru karena kalian tidak meminta
izin ketika akan melakukan kegiatan kalian. Tapi kamu beruntung karena rupanya
si penunggu itu menyukaimu. Sering kali pendaki hilang dan tak ditemukan lagi.
Kalaupun diketemukan, mereka sudah menjadi mayat.” Aku terperanjat, bulu
kudukku meremang. “Kenapa yang datang padaku menyerupai kekasihku, Kek? Tapi
kemudian aku melihatnya seperti noni Belanda.” Si juru kunci berkata, “Ya, biasanya
si penunggu selalu menggoda korbannya untuk bercinta, dia bisa menyerupai siapa
saja. Dan jika hubungan itu terjadi maka kamu tidak akan pernah bisa kembali ke
sini. Jiwamu akan terus tersesat menjadi budak si penunggu itu. Tentang noni
Belanda, memang Ranu Kumbolo dahulu pernah menjadi tempat beristirahat orang
Belanda. Lalu entah kenapa ada yang meninggal disana. Mungkin saja yang kamu
lihat semalam ingin menunjukkan sesuatu kepadamu.” Kakek itu pamit sebelum aku
sempat selesai menanyakan segala sesuatu yang berkecamuk dalam pikiranku.
Aku dan rombongan akhirnya
kembali ke Surabaya. Di perjalanan aku baru sadar bahwa aku tidak tahu siapa si
kuncen itu sebenarnya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu semua cerita itu jika
tak pernah ada yang selamat sebelumnya. Lagi pula tak seorangpun dari anggota
expedisi melihat aku dijenguk seseorang, Ziffa pun tidak. Sesampainya di
Surabaya aku mencoba menghubungi klinik tempat aku dirawat. Aku ingin menanyakan
apakah mereka mengenal siapa lelaki yang mengaku sebagai juru kunci Taman
Nasional Bromo-Tengger-Semeru yang menjengukku. Suara di seberang sana hanyalah
dengungan halus lalu suara tawa noni Belanda itu terdengar berderai-derai.
*NagaKesara atau Nagasari atau lebih dikenal dengan Dewandaru
*Ranu Kumbolo danau indah di kaki gunung Semeru