AKU merindukanmu, seperti pendaki yang ingin sekali lagi mencium harum embun pagi di puncak gunung.
Pada edelweiss yang memutih bergoyang diterpa angin. Kita aksioma keabadian.
Pada edelweiss yang memutih bergoyang diterpa angin. Kita aksioma keabadian.
“Ku janjikan itu dan kau senandungkan.”
Aku merindukan segala jejak pada sajak ini; kamu yang tersenyum tipis di interval kata.
Cinta kita tak perlu gegap gempita. Kita buat ini sederhana saja.
Aku yang bersajak dan kau yang berdoa di langit.
Aku yang bersajak dan kau yang berdoa di langit.
Hingga di suatu sore nanti, engkau tua dan aku senja.
Di beranda rumah kita, ku peluk tubuhmu, kau peluk tubuhku.
Nafas kita beradu semakin syahdu.
Di beranda rumah kita, ku peluk tubuhmu, kau peluk tubuhku.
Nafas kita beradu semakin syahdu.
Kematian. Sayang, kematian yang akan menuntaskan janji edelweiss kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar